Jika Sutan takdir Alisjahbana masih hidup di era kecerdasan buatan (AI), mungkin ia akan menjadi salah satu pemikir paling keras bersuara mengenai hubungan antara mesin dan manusia. Sejak awal, STA dikenal sebagai modernis yang berani mendorong bangsa Indonesia keluar dari bayang-bayang masa lalu menuju kebudayaan baru. Kini, Ketika mesin dapat menulis, melukis bahkan berpikir seperti manusia, pertanyaan yang pernah diajukan STA tentang modenitas seakan menemukan medan pertempuran baru.
Bagi STA, modernitas bukan hanya perkara teknologi, tetapi soal bagaimana manusia menggunakannya untuk membangun peradaban. Pandangannya tentang rasionalitas, ilmu pengetahuan dan imajinasi memberi kacamata tajam untuk membaca AI hari ini. Apakah kecerdasan buatan sekadar perpanjangan tangan manusia, atau justru sebuah entitas baru yang mulai membentuk kebudayaan kita?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Di satu sisi, AI menawarkan efisiensi, kreativitas bahkan kemampuan prediksi yang luar biasa. Namun di sisi lain, ia menimbulkan kekhawatiran, apakah manusia masih punya ruang untuk berimajinasi atau semua akan digantiakn oleh algoritma? Jika STA hadir, ia barangkali akan mengaitkan kita bahwa mesin tidak boleh menjadi penguasa, melainkan mitra dalam membangun kebudayaan. Manusia tetap harus menjadi subjek, bukan sekadar pengguna pasif.
Maka, refleksi STA tetap relevan, masa depan tidak hanya ditentukan oleh seberapa canggih teknologi kita, tetapi keberanian untuk bertanya “siapa yang kita inginkan menjadi pusat kebudayaan, mesin atau manusia?” pertanyaan besar inilah yang seharusnya terus kita diskusikan, agar kita tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus kecerdasan buatan.
Dan barangkali, untuk menemukan jawabannya, kitab isa Kembali menelusuri jejak gagasan STA, melalui Galeri Sutan Takdir Alisjahbana, bukan sekedar ruang arsip tetapi juga jendela untuk memahami bagaimana pikiran besar bekerja melampaui zamannya. Mengunjungi sama artinya dengan berdialog dengan seorang modernis yang tak pernah using, sebuah pengalaman yang mungkin kita butuhkan hari ini, di tengah kebingungan menghadapi mesin dan masa depan manusia.
Hesti Ari Wardani – Librarian